Thursday 8 November 2012

Guru Ujung Tombak Pendidikan


Rektor Universitas Paramadina Anies Baswedan menilai guru merupakan ujung tombak masalah pendidikan di Indonesia, sebab edukasi merupakan proses interaksi antarmanusia.
"Jika kita memperhatikan kualitas, distribusi dan kesejahteraan guru, saya rasa kita bisa menyelesaikan sebagian masalah pendidikan di Indonesia," kata Anies dalam Diskusi Publik "Nasionalisme dan Masa Depan Pendidikan Kita" yang diadakan MAARIF Institute, di Gedung PP Muhammadiyah, Jakarta, Selasa malam.
Dia mengatakan sistem pendidikan Indonesia saat ini belum memberikan apresiasi khusus kepada guru, padahal apresiasi terhadap guru mencerminkan bagaimana seseorang mengapresiasi masa depan bangsa.
Apresiasi terhadap guru, menurut Anies, tidak selalu harus berbicara gaji, namun juga mengenai komponen pengembangan guru itu sendiri. "Penanaman nasionalisme dan nilai-nilai kebangsaan yang sentralistik bisa terjadi apabila guru berkualitas," kata dia.
Selain itu, menurut dia, perlu juga dilihat pendidikan sisi nonformal, yakni melalui orang tua. Anies menilai seringkali pendidikan oleh orang tua dilupakan.
"Orang tua adalah pendidik yang penting, sehingga orang tua ini perlu dijangkau oleh sistem pendidikan kita. Sekarang orang tua diundang datang ke sekolah biasanya untuk sumbangan, padahal sudah waktunya diundang untuk bicara bersama-sama mengenai pendidikan," kata dia.
Dia mengatakan pembicaraan antara sekolah dengan orang tua perlu dilakukan sejak tahap sekolah dasar, sebab sekolah dasar memiliki sebaran yang sangat luas.
Sementara itu masalah-masalah lain yang tidak kalah penting, menurut dia, infrastruktur pendidikan yang saat ini masih belum mumpuni, serta materi pendidikan sekolah dasar yang dinilai bertujuan menjadikan masyarakat sebagai orang urban.
"Materi-materi di buku sekolah dasar selalu memakai contoh gedung-gedung yang tinggi, sehingga dampaknya materi dan cara mengajar berorientasi menjadikan anak didik sebagai masyarakat urban atau masyarakat perkotaan. Padahal Indonesia ini bukan hanya penduduk urban," kata dia.
Pada kesempatan yang sama, sosiolog Universitas Indonesia Imam B. Prasodjo menilai sistem pendidikan yang berlangsung saat ini di Indonesia hanya sebatas mendorong "moral knowing" atau keinginan untuk mengetahui.
Seharusnya, kata dia, keinginan untuk mengetahui itu didorong ke berbagai tahapan selanjutnya antara lain "moral feeling" atau berempati, dan "moral action" atau bereaksi terhadap sebuah permasalahan.
"Jangan pada saat ada anak terlibat tawuran dan membunuh, seorang pengajar malah mempertanyakan apakah dia puas atau tidak. Seharusnya tanya apakah dia memikirkan perasaan orang tua korban, untuk mengetahui apakah si anak memiliki `moral feeling` dan `moral action` atau tidak," kata Imam.

Cara Menyenangkan Belajar Sejarah


SUATU ketika, saat pelajaran Sejarah tengah berlangsung di sebuah kelas, ada seorang guru bertanya kepada muridnya, "Kapan Perang Diponegoro terjadi?" tanyanya. Beberapa siswa sontak mengacungkan tangan. Sang guru kemudian menunjuk salah satunya. Dengan lantang, siswa yang ditunjuk tersebut menyahut, "Habis Maghrib, Pak!"
Di waktu yang berbeda, masih terkait Perang Diponegoro, sang guru bertanya, "Setelah melakukan gerilya dengan pasukannya, Diponegoro kemudian melarikan diri ke ...?" Jawaban yang terlontar dari siswa pun di luar perkiraan. Dengan suara lantang, keluarlah jawaban, "Ketakutan."
Kontan saja, kelas riuh dengan gelak tawa. Guru yang bertanya pun bengong sesaat. Kemudian, dia menenangkan siswanya dengan nada membentak. Ini bukan sekadar anekdot. Cerita ini disampaikan Guru Besar Sejarah Universitas Indonesia Susanto Zuhdi.
Menurutnya, saat ini generasi muda sangat kreatif, berpikiran lebih bebas, dan terbuka. Karenanya, metode pembelajaran harus dirancang sedemikian rupa agar lebih menyenangkan, tidak membosankan. Tentu saja, agar jawaban serupa "habis Maghrib" dan "ketakutan" itu tidak muncul lagi.
Jawaban spontan dari siswa, seperti kisah di atas, bukan mengartikan bahwa mereka tak tahu jawabannya. Justru karena jawaban yang sudah ada itu cenderung membuat siswa jenuh dan mencari cara lain agar lebih enjoy.  "Mereka tahu, Perang Diponegoro terjadi pada 1825-1830. Tapi, saking detilnya, muncullah jawaban sehabis Maghrib tadi," ujar Susanto sambil  tertawa. Pelajaran Sejarah yang berisi banyak hafalan dan menyediakan jawaban tampaknya memang perlu disikapi dengan lebih bijak agar materinya bisa lebih mudah terekam oleh siswa.
Susanto yang juga staf ahli Menteri Pertahanan itu tidak sepakat dengan pernyataan bahwa pelajaran Sejarah bukan hal yang menarik. Sebaliknya, Susanto menilai, pelajaran Sejarah justru pelajaran yang penuh pesona. Menurutnya, masa lalu selalu menarik. "Kita saja yang tidak bisa mengemasnya."
Belajar tentang masa lalu, kata Susanto, bisa menarik bila dimasukkan unsur makna dari peristiwa-peristiwa tersebut. Dia mengatakan, ada tiga sebab mengapa orang berkepentingan dengan sejarah. Pertama, orang memang ingin tahu sejarah yang penuh misteri dan memesona. Syaratnya, dia harus penasaran karena harus selalu bertanya.
Kedua, orang belajar sejarah untuk tahu pengalaman orang lain. Orang bijak tidak akan belajar dari pengalamannya sendiri, tapi dari pengalaman orang lain. Ketiga, sejarah menciptakan kelompok komunitas, kelompok kemanusiaan, dan menggugah rasa nasionalisme. Ini karena sejarah menjadikan satu kesatuan pengalaman. "Jadi, secara individu maupun kelompok, sejarah itu menarik," kata Susanto.
Salah satu cara untuk menjadikan pelajaran Sejarah menarik dan tidak membosankan adalah dengan kegiatan Lawatan Sejarah Nasioanal (Lasenas) X. Acara ini merupakan program tahunan Kemendikbud yang diselenggarakan oleh Dirjen Kebudayaan, Direktorat Sejarah, dan Nilai Budaya. Menurut Susanto, Lasenas adalah cara belajar sejarah yang menyenangkan. Kemasan pendidikan Sejarah dengan berkunjung langsung ke tempat-tempat bersejarah patut diapresiasi. Lasenas, kata Susanto, bisa memperkuat ingatan politik dan sejarah generasi muda dengan cara yang disukai mereka.
Susanto mencontohkan, beberapa tahun lalu ada seorang pelajar dari Amerika yang berkujung ke Morotai. Untuk apa? Ternyata, anak tersebut ingin melihat langsung jejak peninggalan kakeknya sewaktu berperang melawan Jepang. "Karena jejak peninggalannya ada di Morotai, ribuan kilometer pun harus dia tempuh. Ini karena instruksi sejarah, ada perintah masa lalu," ujarnya.(rpnk/ap)

Popular Posts